Pengertian
dari Mola Hidatidosa
Secara
makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung- gelembung
putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi dari
beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter. Gambaran histopatologik
yang khas dari mola
adalah: edema, stroma vili, tidak ada pembuluh darah
pada vili dan proliferasi sel-sel epitel
trofoblas, sedangkan gambaran sitogenik-nya pada umumnya dapat berupa X 46.
Mola
parsial secara makroskopik, berupa gelembung mola yang disertai janin atau bagian
dari janin. Umumnya
janin mati pada bulan pertama tapi ada pula yang hidup sampai cukup
besar dan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat vili
yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di
tempat yang lain masih nampak vili yan g normal.
Etiologi
dari Mola Hidatidosa
Penyebab
mola hidatidosa tidak diketahui, banyak faktor yang dapat menyebabkan antara
lain :
1. Faktor
ovum: ovum sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluar- kan.
2. Umur
di bawah 20 tahun dan di atas 40 tahun.
3. Imunoselektif
dari trofoblas.
4. Keadaan
sosioekonomi yang rendah dan defisiensi gizi; mola hidatidosa banyak ditemukan
pada mereka dengan status ekonomi yang rendah serta diet rendah protein.
5. Paritas
tinggi.
6. Infeksi
virus dan faktor kromosom yang belum jelas.
Patofisiologis
dari Mola Hidatidosa
Ada
beberapa teori yang menerang- kan patogenesis dari penyakit trofoblas:
1. Teori
Missed abortion
Mudigah
mati pada kehamilan
3 -5 minggu (missed abortion), karena itu terjadi gangguan
per edaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim
dari vili dan akhirnya terbentuk
gelembung- gelembung.
2. Teori
neoplasma dari Park
Dikatakan
yang abnormal adalah
sel- sel trofoblas, yang mempunyai fungsi abnormal pula, dimana terjadi
reabsorbsi cairan yang berlebihan ke-dalam vili sehingga timbul
gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah d a n kematian mudigah. Mola hidatidosa komplit
berasal dari genom maternal (genotype 46XX lebih sering) dan 46 XY jarang, tapi
46XXnya berasal dari replikasi haploid sperma dan tanpa kromosom dari ovum.
Mola parsial mempunyai 69 kromosom terdiri dari kromosom 2 haploid paternal dan
1 haploid maternal (tripoid, 69XX atau 69XY dari 1 haploid ovum dan lainnya
reduplikasi paternal dari 1 sperma atau fertilisasi disperma).
Diagnosis
dan Gejala Klinik dari Mola Hidatidosa
Pada
permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan
biasa, yaitu enek, muntah, pusing dan lain-lain, hanya satu derajat
keluhannya sering lebih
hebat. Selanjut- nya perkembangan
lebih pesat, sehingga biasanya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan.
Perdarahan
merupakan gejala utama mola, biasanya keluhan perdarahan inilah yang
menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya
terjadi pada bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat
perdarahan biasa intermitten, sedikit-sedikit, atau sekaligus banyak, sehingga
menyebab- kan syok dan kematian. Karena perdarahan ini maka umumnya pasien mola
masuk dengan keadaan anemi.
Adanya
mola hidatidosa harus dicurigai bila ada wanita dengan amenorea, perdarahan
pervaginaan atau keluarnya “vesikel” mola dari vagina, uterus yang lebih besar
dari usia kehamilan dan tidak ditemukannya tanda kehamilan pasti, seperti tidak
terabanya bagian-bagian janin juga gerakan janin dan ballotemen serta tidak
terdengarnya bunyi jantung janin. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilaku- kan
pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin
(HCG) dalam darah atau urine. Peninggian
HCG terutama setelah hari ke 100, biopsy transplasental.
Diagnosis
pasti dari mola hidatidosa biasanya dapat dibuat dengan ultrasonografi dengan
menunjukkan gambaran yang khas berupa “vesikel-vesikel” (gelembung mola) dalam
kavum uteri atau “badai salju” (snow flake pattern).
Secara
singkat gambaran diagnostic klinik mola hidatidosa adalah:
1. Pengeluaran
darah yang terus menerus atau
intermitten yang terjadi
pada kehamilan kurang lebih 12 minggu.
2. Pembesaran uterus
yang tidak sesuai dengan usia kehamilan.
3. pada
palpasi tidak teraba bagian janin dan denyut jantung janin
tidak terdengar
4. Gambaran
ultrasonografi yang khas.
5. kadar
HCG yang tinggi setelah hari ke 100.
6. Preeklampsia-eklampsia yang
terjadi sebelum minggu ke-24.
Pemeriksaan
Diagnostik dari Mola Hidatidosa
Untuk
mendiagnosis mola hidatidosa dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang:
1. Foto
thoraks
2. pemeriksaan
HCG urine atau darah
3. USG
3. USG
4. Uji sonde
menurut Hanifa. Sonde masuk tanpa tahanan dan dapat diputar
dengan deviasi sonde kurang dari 10.
5. Pemeriksaan
T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis.
Penatalaksanaan
dari Mola Hidatidosa
Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu:
1. Perbaiki
keadaan umum
2. Pengeluaran
jaringan mola
3. Terapi
profilaksis dengan sitostatika
4. Pemeriksaan
tindak lanjut (follow up)
a. Perbaikan
keadaan umum.
Yang dimaksud usaha ini yaitu koreksi dehidrasi,
transfuse darah bila anemia (Hb 8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan
hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan protocol penanganannya. Sedang- kan
bila ada gejala tirotoksikosis di konsul ke bagian penyakit dalam.
b. Pengeluaran
jaringan mola.
Ada 2
cara yaitu :
a) Kuretase
·
Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai
(pemeriksaan darah rutin, kadar
β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar
spontan.
·
Bila kanalis servikalis belum terbuka,
maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
·
Sebelum kuretase terlebih dahulu
disiapkan darah dan pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc
Dextrose 5%/.
·
Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali
dengan interval minimal 1 minggu.
·
Seluruh
jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA.
b) Histerektomi,
tindakan ini dilaku-kan pada wanita yang
telah cukup (> 35 tahun) dan mempunyai anak
hidup (>3 orang).
c. Terapi
profilaksis dengan sitostatika Pemberian kemoterapi repofilaksis pada
pasien pasca evaluasi
mola hidatidosa masih menjadi
kontroversi. Beberapa hasil penelitian
menyebutkan bahwa kemungkinan
terjadi neoplasma setelah evaluasi mola pada kasus yang mendapat- kan
metotreksat sekitar 14%, sedangkan yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada
umumnya profilaksis kemoterapi
pada kasus mola hidatidosa
ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterai
untuk tujuan trapi definitive
memberi-kan keberhasilan
hampir 100%. Sehingga
pemberian profilaksis
diberikan apabila. apabila dipandang perlu
pilihan profilaksis kemoterapi
adalah: Metotreksat 20 mg/ hari IM selama 5 hari.
d. Pemeriksaan
tindak lanjut.
·
Lama pengawasan berkisar satu sampai dua
tahun.
·
Setelah pengawasan penderita dianjurkan
memakai kontrasepsi kondom, pil
kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan fisik
dilakukan setiap kali pada saat
penderita datang kontrol.
·
Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap
minggu sampai ditemukan kadar β-hCG normal tiga kali berturut-turut.
·
Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan
setiap bulan sampai kadar β-hCG normal selama 6 kali berturut-turut.
·
Bila
terjadi remisi spontan
(kadar β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah saru tahun
semua-nya normal) maka penderita tersebut dapat berhenti menggunakan
kontrasepsi dan hamil lagi.
·
Bila selama masa observasi kadar β-hCG
tetap atau bahkan meningkat taua pada pemeriksaan klinis, foto thoraks
ditemukan adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai
pemberian kemoterapi.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Prawiroherdjo Sarwono, Wiknjosastro Hanifa. 2011. Ilmu Kandungan
Ed.3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
2.
Prawiroherdjo Sarwono, Wiknjosastro Hanifa. 2013. Ilmu Kebidanan
Ed.4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
3.
Varney Helen, Kriebs Jan M, Gegor
Carolyn L. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Ed.4 Vol.1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC
4.
Dorland, W.A. Newman. 2011. Kamus Saku
Kedokteran Dorland Ed.28. Jakarta: EGC
5.
Kerjasama WHO, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, IBI. 2013. Pelayanan
Kesehatan Ibu DiFasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Ed.1. UNFPA, UNICEF,
USAID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar